Prinsip-prinsip dasar

  1. A holistic process Satu proses holistis

Bahasa adalah salah satu produk budaya dinamis dan terus berkembang sepanjang jaman. Perkembangan itu terjadi karena bahasa merupakan bagian kebutuhan hidup yang terus berkembang.  Bahasa itu sangat kompleks, bahkan dapat dikatakan paling kompleks dan rumit diantara semua produk budaya manusia. Kompleksitas  bahasa itu tercermin pada rumusan berbagai definisi oleh para ahli bahasa (linguistic)[1] yang mengatakan bahwa;

  • Language has system. Bahasa itu bersistim
  • Language is vocal. Bahasa itu berkaitan dengan suara.
  • Language is arbitrary. Bahasa itu bersifat keputusan pribadi
  • Language is a human activity. Bahasa merupakan kegiatan kemanusiaan
  • Language is not instinctive. Bahasa bukan  bersifat naluri.
  • Language is a social activity. Bahasa adalah kegiatan sosial
  • Language is related to culture. Bahasa berkaitan dengan budaya .

Apabila kita bicara mengenai sistim, maka didalamnya terdapat berbagai unsur saling terkait dan saling mendukung dalam satu proses.  Karena itu, dalam pembelajaran bahasa Inggris kita perlu menyimak lebih jauh apa saja unsur kegiatan yang harus termasuk dalam sistim agar kegiatan tersebut dapat berlangsung secara efektif. Ada ungkapan populer dalam bahasa Inggris mengatakan “I remember what I heard and what I saw,  I understand what I said,  and I mastered what I wrote” artinya kurang lebih “Saya ingat apa yang saya dengar dan saya lihat, saya tahu apa yang saya katakan, dan saya paham betul apa yang saya tulis” Ungkapan ini  menggambarkan satu proses dan sistim penalaran yang relevan dengan proses belajar satu bahasa. Dalam satu proses belajar bahasa kita perlu mendengar, melihat, bicara, dan menulis dimana setiap langkah dalam proses tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti nilai sosial budaya, faktor alam, kebutuhan yang terus berkembang, dsb. Mendengar, artinya ada sumber suara. Seorang bayi setelah menginjak umur dua tahun mulai secara effektif menangkap suara bermakna dari ibu atau pengasuhnya dan dalam waktu dua sampai dengan tujuh bulan si anak akan mulai mencoba menirukan kembali suara tersebut.[2] Kalau dulu sebelum media elektronik marak seperti sekarang ini sumber suara bagi seorang anak hanya ibu dan anggota keluarga lain, sekarang ini situasi sudah berubah. Sumbernya sudah termasuk TV, Radio, Kaset, dsb. Itu sebabnya di jaman modern sekarang ini, logat bicara seorang anak tidak lagi terlalu mengikuti logat ibunya. Sama halnya dengan seorang siswa yang belajar bahasa Inggris, dulu sumbernya hanya guru disekolah. Sekarang sangat banyak sumber untuk didengar dalam proses listening bahasa Inggris selain dari guru disekolah. Demikian juga dengan kegiatan lainnya sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Dengan terjadinya berbagai aspek dinamis tersebut, maka kegiatan pembelajaran bahasa Inggris saat ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan dan memanfaatkan berbagai kemungkinan sumber-sumber dan faktor pendukung yang tersedia. Dengan kata lain, harus dilakukan secara holistis, seperti memanfaatkan . siaran TV untuk  listening, koran berbahasa Inggris untuk reading, praktek sebagai pemandu turis asing untuk speaking, dsb. Sementara peran guru disekolah harus ditingkatkan dari sekedar mengajar konsep (grammar) menjadi fasilitator dan perencana program belajar siswa agar kegiatan diluar sekolah dan disekolah dapat terintegrasi secara sistematis.

  1. Language is a mean of communication Bahasa adalah alat komunikasi

Banyak anak normal umur 2 s/d 3 tahun sudah cukup lancar berkomunikasi sesuai kebutuhan sehari-hari secara lisan dengan memakai bahasa ibunya sendiri tanpa pernah belajar secara sistematis. Padahal, banyak orang sudah belajar bahasa Inggris selama bertahun-tahun mulai dari tingkat SMP s/d perguruan tinggi belum dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena si anak belajar bahasa ibunya dalam konteks berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Di pihak lain seorang siswa belajar bahasa Inggris lebih banyak dalam konteks mencapai satu target memenuhi kurikulum sebagaimana halnya mempelajari sains (science) tertentu. Dengan kata lain bahasa Inggris itu mereka pelajari hanya sebagai satu konsep, bukan sebagai satu pengalaman hidup nyata. Oleh karena itu, belajar bahasa Inggris khusus pada tahap-tahap awal harus di programkan sebagai penyediaan sarana dan kesempatan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, sehingga penggunaan bahasa itu sendiri bisa menjadi satu pengalaman nyata. Penulis pernah memberikan kursus intensif bahasa Inggris kepada 15 orang pelajar SMP kelas I, II, III, dan SMA kelas I, di salah satu desa di Kabupaten Dairi. Pada tahap pertama mereka digabung dalam kelas yang sama untuk hari pertama mengikuti placement test. Pada tahap placement test, semua murid, kecuali dua orang dari kelas I SMP, dengan lancar bisa menyebutkan; angka 1 s/d 100;  urutan hari mulai Sunday s/d Saturday; urutan bulan mulai January s/d December.  Kemudian dipapan tulis dibentangkan selembar kertas bertuliskan angka-angka 1 s/d 100 dengan urutan secara acak. Lalu satu per satu mereka diminta untuk menyebut angka yang ditunjuk  pada lembaran tersebut. Hasilnya hanya dua atau tiga orang yang dapat secara otomatis menyebutkan angka diatas 10. Demikian juga dengan nama hari pada kalender berbahasa Indonesia, tidak satupun bisa langsung menyebutkan nama hari misalanya Thursday secara otomatis saat alat penunjuk jatuh pada tulisan “Kamis”. Mayoritas dari mereka memerlukan beberapa detik berfikir (dalam hati mungkin mengurutkan dulu harinya) baru bisa menjawab, bahkan ada yang sampai satu menit baru bisa menjawab.  Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya kelompok tetap digabung dalam beberapa pertemuan mengikuti latihan menyebut secara otomatis angka, nama hari, dan nama bulan tertentu yang ditunjuk oleh fasilitator. Pada pertemuan ke-4 barulah semua peserta kursus bisa langsung menyebutkan angka maupun hari yang ditunjuk secara mendadak. Kalau angka yang ditunjuk 15 misalnya mereka sudah secara otomatis menyebutkan “fifteen” dan kalau alat penunjuk melompat ke angka 50 tanpa ragu-ragu akan menyebut “fifty” yang sebelumnya kadang-kadang  menulisnya atau mengucapkannya  fivety, fiveteen, atau tidak tahu sama sekali kecuali diurut dari satu dst. Apa yang dapat disimpulkan dari pengamatan diatas?  Sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan kata-kata itu sebagai alat berkomunikasi sebagai pengalaman nyata. Mereka mengetahui penyebutan angka, nama hari, dan bulan itu hanya sebagai konsep. Salah satu tujuan pokok berkomunikasi adalah penyamaan persepsi terhadap sesuatu antar komunikan (language is arbitrary).  Syarat utama dalam berkomunikasi adalah: Pertama:  Bagaimana cara menanyakan pendapat atau perasaan seseorang terhadap sesuatu  atau terhadap orang lain. Apabila hal ini kita sederhanakan, maka yang pertama harus diajarkan dalam belajar bahasa Inggris ini adalah cara bertanya dengan menggunakan kata-kata tanya  sehari-hari antara lain; what, how, why, which, where, when dan kata-kata yang bukan kata tanya tetapi sering digunakan menjadi kata tanya dan jumlahnya juga tidak banyak seperti: do, does, can, have, has, am, are, is. Jumlah kata-kata tersebut tidak banyak, hanya belasan sehingga tidak sulit menghafalkan dan melafalkannya secara fasih. Dalam memperkenalkan kata-kata ini guru belum perlu menjelaskan aspek grammarnya, seperti do dipakai untuk orang pertama, kedua tunggal, dan ke tiga jamak, dsb. Nanti mereka akan tahu sendiri setelah memahami bagaimana penggunaannya dalam kalimat. Hasil pengamatan mengungkapkan bahwa diatas 60% anak yang masuk play group umur 4 dan 5 tahun di sebuah sekolah berbahasa Inggris sudah bisa membedakan “she” dan “he” waktu mulai masuk group[3]. Artinya sebelum mereka pernah belajar grammar. Mereka hanya tahu dari pengalaman sehari-hari dari orangtua atau kakak kakanya kalau menyebut saudara pria dipakai “he” dan menyebut saudara perempuan “she”. Kedua   :  Bagaimana menggambarkan pendapat atau perasaan kita terhadap ssu atau dalam kata lain membuat satu pernyataan. Yang kedua ini sedikit lebih banyak dan bervariasi namun kalau hanya membuat pernyataan sekedar berkomunikasi sehari-hari juga tidak sulit untuk dihafalkan. Kata-kata yang membuat pernyataan paling sering digunakan sehari-hari antara lain: adalah (am, are, is), look, seem, do, can, may, shall, will, want, have/has, dsb. Dalam rangka mengenalkan kata-kata tersebut kita memperkaya perbendaharaan kata.  Misalnya dalam memperkenalkan “am” sebagai verb untuk membuat pernyataan seperti I am hungry”, kita dapat memperkenalkan kata lain dengan bentuk yang sama seperti “I am thirsty”,  “I am a nurse”, dsb.  Dengan demikian para siswa tidak saja dilatih menggunakan verb secara benar tetapi juga terlatih mengalirkan pendapat, pernyataan, atau perasaannya dalam satu alinea.  Contoh lain; I am a student. I have one sister and one brother. They are nice to me Pengenalan kalimat kalimat ini merupakan latihan penyesuaian bentuk subyek dan verb apakah tunggal atau jamak. Dengan terbiasanya siswa mendengar kalimat ini mereka akan secara otomatis menggunakan bentuk verb yang sama saat menggunakan subyek yang sama dalam kalimat lain dan penggunaan verb tertentu untuk subyek berbeda seperti contoh berikut; Nadia is my sister, she is a nurse. Anton is my brother, he is a police. They are not home now Nadia, Anton, and I live together in this apartment. We are Indonesian. We have three bed rooms in this apartment. Dengan cara seperti ini siswa sudah mulai membiasakan diri pada adanya perbedaan pronoun berdasarkan gender dan adanya bentuk tunggal dan plural verb.   Kalau sudah ditingkat lebih lanjut penjelasan seperti ini hanya tinggal mengkonfirmasi benar tidaknya kalimat yang mereka gunakan dilihat dari sudut grammar. Dengan demikian para siswa tidak akan sulit lagi memahami dan menggunakan grammar secara benar. Dari berbagai bentuk komunikasi, bentuk verbal atau vocal paling dominan. Tidak semua orang normal dapat berkomunikasi dengan tulisan, gerakan, dan yang lain, namun semua orang normal bisa berkomunikasi secara vocal. Inilah dasar pemikiran kenapa belajar bahasa itu harus dilandasi latihan bicara atau vocal.

  1. Language relates to culture Bahasa itu berkaitan dengan budaya.

Berikut beberapa contoh bagaimana aspek budaya Barat mempengaruhi pola kalimat-kalimat bahasa Inggris:

  • Budaya Eropah memandang nama seseorang hanyalah sebagai label atau merek dalam rangka membedakan seseorang dengan orang lain. Karena itu nama  seseorang tidak dipersonifikasi atau tidak ada kaitan dengan karakter maupun sifat seseorang. Maka untuk menanyakan nama seseorang tidak disebut Who is your name? (Siapa namamu),  tetapi What is your name? (Apa namamu). Lain dengan orang Indonesia dan orang Asia umumnya, dimana pemberian nama seseorang biasa  dikaitkan dengan harapan agar mencerminkan karakter atau sifat seseorang sesuai keinginan orang tua atau pemberi nama. Artinya nama itu dipersonifikasi. Karena itu pula buat orang Indonesia tidak sopan atau tidak lazim mengatakan Apa (what) nama kamu, tetapi Siapa (who) nama kamu. Hal ini juga mempengaruhi pronoun (kata ganti noun). Di negara Barat benda-benda, atau hewan mereka sebut juga they. Sementara dalam bahasa Indonesia kita tidak pernah mengatakan kumpulan beberapa hewan dengan sebutan “mereka”  Nilai budaya ini juga membuat seorang anak Eropah tidak masalah memanggil ayah, ibu, atau pamannya dengan nama. Sedangkan buat orang Indonesia, khususnya dibeberapa etnis, hal ini bukan saja tidak lazim bahkan dianggap tabu.
  • Contoh lain pengaruh budaya terhadap bahasa ini adalah nilai budaya Eropa yang sangat kental mendahulukan orang lain daripada diri kita sendiri. Kalau di Indonesia mengatakan “Saya dan Ibu ingin pergi belanja” buat orang Barat dianggap kurang pas. Mereka akan mengatakan “Ibu dan saya ingin pergi belanja” (Mother and I want to go shopping). Dalam bahasa Indonesia kita mengatakan “Saya akan mengirim surat kepada paman” dan kalau diterjemahkan kedalam bahasa Inggris “I want to send a letter to my uncle” atau  “I’m going to send a letter for my uncle”. Namun susunan kata seperti itu dianggap kurang lazim. Yang lazim adalah “I want to send my uncle a letter” atau “I am going to send my uncle a letter”  Ini karena kekentalan budaya yang selalu mendahulukan orang apa bila dalam satu kalimat terdapat dua objek dan salah satunya adalah orang.
  • Budaya Eropa juga sangat kental dengan nilai jangan sampai ada kesan “menggurui orang lain”  Hal ini sangat terasa kental sekalipun dalam hubungan  seorang guru terhadap muridnya.  Sehingga akan lebih sering kita dengar ucapan “Do I make it clear?” (Apa saya bisa membuatnya dengan jelas?) atau  (Apa penjelasan saya cukup mudah untuk dipahami?). Kalau dalam bahasa Indonesia yang sering kita dengar adalah.  “Apa anda sudah mengerti apa yang saya jelaskan?” (Do you understand what I said?) Ucapan seperti ini memang sering juga diucapakan oleh orang Barat tetapi biasanya dalam konteks marah seperti seorang ibu yang sedang marah kepada anak atau seorang polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka penjahat.
  • Budaya Barat dalam beberapa hal tidak terlalu mengistimewakan keberadaan manusia dan substansi lain sebagai pelaku satu tindakan. Karena itu banyak kalimat dalam bahasa Inggris menggunakan sesuatu sebagai subjek kalimat yang dalam kalimat bahasa Indonesia jarang dijumpai. Misalnya: “piring itu pecah”  Karena dalam budaya Indonesia sesuatu yang tidak bergerak itu biasanya hanya dipakai sebagai objek, jarang digunakan sebagai subjek, sehingga kita lebih cenderung melihat “pecah atau patah” itu sebagai adjective atau sebagai verb dalam bentuk passif Jadi kalimat tersebut kalau dirobah bisa jadi “Piring itu sudah pecah, tidak dapat digunakan”  “The plate is broken  it is useless.” Sementara dalam bahasa Inggris, karena sesuatu itu sering dipakai sebagai subjek, maka  “break”  itu lebih lazim dipakai sebagai verb, karena itu Kalimatnya cenderung menggunakan verb aktif  “The plate broke by itself” (Piring itu retak sendiri) atau The plate broke yesterday Piring itu pecah kemarin.
  • Contoh lain; Dalam bahasa Indonesia kata “patah” itu umumnya digolongkan sebagai adjective. Sementara bentuk verb kata tersebut adalah “mematahkan” Mari kita menyimak kalimat kalimat yang menggambarkan “kaki seseorang patah dalam satu kecelakaan” Dalam bahasa Indonesia akan dikatakan; “Kaki saya patah pada kecelakaan itu” Kalimat dalam bahasa Indonesia ini hanya menggambarkan keadaan kaki tanpa memberi informasi siapa atau apa yang mematahkan. Sementara dalam bahasa Inggris akan dikatakan “I broke my leg at the accident” yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara langsung artinya “Saya mematahkan kaki saya pada kecelakaan itu” atau “the accident broke my leg” (kecelakaan itu mematahkan kaki saya). Kalimat diatas menggambarkan bahwa  karakter bahasa Inggris itu mencerminkan budaya Barat dimana penggunaan orang atau sesuatu sebagai subjek satu kalimat tidak dipengaruhi oleh nilai budaya yang melihat harkat seseorang itu sebagai insan manusia mendapat kedudukan istimewa dibandingkan dengan sesuatu. Yang penting bahwa dalam satu kalimat lengkap harus jelas apa atau siapa subjek dalam satu kalimat tertentu.
  • Demikian juga halnya dengan rumah. Dalam budaya Timur termasuk Indonesia rumah itu sering dipersonifikasi. Rumah sering dianggap membawa tuah dan rumah itu dianggap sebagai satu wadah yang mampu memberikan pengayoman terhadap penghuninya. Sementara dalam dunia Barat pada umumnya rasa kebersamaan, rasa saling mencintai, saling mengayomi sesama anggota keluarga, itulah yang dianggap paling berperan dalam keterikatan satu keluarga. Artinya nilai kebersamaan itu lebih dititik beratkan pada “suasana” Sedangkan rumah (dalam arti fisik) murni hanya sebagai sarana atau faktor pendukung dalam membentuk suasana kebersamaan tersebut. Oleh karena itu “house” dalam bahasa Inggris murni rumah dalam arti satu bangunan tempat tinggal. Suasana dimana didapatkan kebersamaan keluarga mereka sebut  “home” Karena itu harus kita sadari bahwa tidak selamanya “home”  itu identik dengan “rumah”

Begitu banyaknya factor budaya mempengaruhi pola kalimat dalam bahasa Inggris. Karena itu, semakin banyak kita memahami nilai-nilai budaya Barat akan membuat kita lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan struktural antara kalimat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

  1. A diffusion process.

Dalam ilmu komunikasi dikenal satu prosess yang disebut Diffusion of Innovation. Dalam proses pembelajaran bahasa hal ini juga berlaku dan ini pula yang membedakan bahasa dengan ilmu pengetahuan lain pada umumnya. Disebutkan bahwa dalam satu proses diffusi (proses perembesan) dikenal adanya sel-sel berupa bejana-bejana penampungan informasi yang diresapkan. Dalam hal pembelajaran bahasa, kalimat-kalimat yang sudah terpola dalam benak seseorang adalah berupa bejana-bejana penampungan kata-kata. Karena beragamnya bentuk kalimat dalam mengungkapkan apa yang ada dibenak seseorang tersebut, maka pembentukannya harus secara lambat laun dan terus berkesinambungan. Apabila kita bayangkan, seorang anak yang baru belajar bicara membutuhkan antara dua sampai tujuh bulan  untuk dapat mengucapkan beberapa kata bermakna sejak dia pertama kali mendengar satu kalimat tertentu. Hal ini menggambarkan bahwa proses perembesan itu berjalan secara lambat, namun akan terus berlanjut. Apabila proses pembelajaran ini berlangsung sesudah kita punya pola kalimat dan bentuk bunyi tertentu sesuai dengan bahasa ibu, sementara bahasa baru menuntut pola yang mungkin tidak sama dengan apa yang sudah terbentuk karena perbedaan tata bahasa, budaya, dsb,  maka masalahnya semakin kompleks. Karena itulah dikatakan bahwa penalaran pola bahasa dipengaruhi berbagai faktor antara lain daya ingat, ketajaman pendengaran, kefasihan lidah dan pita suara terhadap jenis suara tertentu, dan juga gerakan refleksi bibir, dsb.  Karena itu pula, mempelajari satu bahasa sebagai bahasa kedua membutuhkan penyesuaian berbagai faktor tersebut. Semua ini menunjukkan betapa kompleksnya hal-hal yang mempengaruhi lancar tidaknya proses mempelajari satu bahasa. Karena itu, dalam proses belajar bahasa, dalam hal ini bahasa Inggris, pemahaman setiap kata dan setiap kalimat tidak mungkin dipaksakan sekaligus dalam waktu yang singkat seperti menuangkan ssu kedalam bejana besar. Harus dirembeskan atau diresapkan secara bertahap sedikit demi sedikit dan berkesinambungan. Artinya, keberhasilan belajar bahasa Inggris itu lebih ditentukan oleh frekwensi waktu belajar dibandingkan dengan jumlah keseluruhan waktu yang digunakan. Dengan kata lain, akan lebih efektif kalau belajar bahasa Inggris itu kita lakukan 10 menit setiap hari daripada 2 jam tetapi hanya sekali seminggu. Maka sangat mustahil apabila ada penyelenggara kursus bahasa Inggris yang mengiklankan bahwa mereka mampu membuat peserta kursus lancar bicara hanya dalam beberapa minggu atau bahkan hanya dalam beberapa pertemuan.  Yang  mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat seperti itu hanyalah mengucapkan beberapa kalimat sederhana. Dalam pelaksanaan mungkin sulit  melakukan kelas bahasa Inggris setiap hari untuk setiap kelas karena keterbatasan guru, waktu, fasilitas, dsb.  Namun kalau sebahagian kegiatan seperti yang akan diuraikan pada bagian kedua bab ini antara lain listening, reading, dan  writing dibuat dalam bentuk PR, maka secara keseluruhan frekuensi belajarnya akan meningkat. Sebagai contoh:

  1. Setiap siwa diminta mendengar siaran berbahasa Inggris setiap hari dari radio, TV, atau kaset selama 15 menit dan menulis apa yang dapat ditangkap dari apa yang didengarkan, sama seperti latihan mendikte (dictation). Yang mereka tulis boleh berupa kata perkata, phrase, kalimat lengkap, atau satu narasi lengkap untuk judul tertentu, tergantung tingkatan para siswa apakah pemula misalnya di tingakat SD, SMP, atau sudah pada tingkat advance seperti SLTA, dst.
  2. Hasil tulisan setiap siswa kemudian oleh penulisnya di bacakan didepan kelas pada saat jam pelajaran bahasa Inggris di sekolah. Kegiatan ini sekaligus melatih siswa listening, speaking (saat membacakan kembali), dan writing (saat menulis kembali apa yang didengar siswa tersebut)
  3. Siswa disarankan mengulangi kata-kata atau kalimat yang didengarnya di radio, TV, kaset, dsb. Sekalipun mereka belum paham arti kalimat atau  kata yang di dengar dan ditirukan itu, namun hal ini merupakan satu cara efektif melatih lidah untuk dapat lebih fasih mengucapkan kalata atau kalimat tersebut pada saat bertemu dengan kata atau kalimat yang sama saat belajar pada satu waktu dikemudian hari.

Dengan demikian, sekalipun kelas bahasa Inggris hanya dilakukan satu atau dua kali seminggu, prisip difussi telah berlangsung karena telah diselingi dengan melatih pendengaran, pengucapan, dan penulisan diluar kelas.

  1. Translation vs Interpretation Terjemahan vs Penafsiran

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahasa adalah salah satu produk budaya. Satu bahasa terbentuk dan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai perobahan budaya pemakai bahasa tersebut. Bicara soal bahasa Inggris,  karena sangat banyak digunakan sebagai bahasa nasional dibeberapa negara seperti Inggris, Amerika, Australia, dsb, maka muncullah bahasa Inggris itu dalam berbagai bentuk yang dalam beberapa hal seperti pengucapan bahkan juga penulisan kata berbeda satu sama lainnya.  Akhirnya muncul juga apa yang mereka sebut British English, American English, Australian English. Bahkan belakangan ini sudah ada penyebutan Australian Langguage. (Bahasa Australia). Semua ini terjadi karena penggunaan bahasa itu di berbagai tempat sudah dipengaruhi berbagai aspek yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan akhirnya masing-masing mempunyai ciri tersendiri. Perbedaan ini bahkan bukan saja antar negara tetapi juga antar wilayah disatu negara yang sama. Perbedaan dialek bahasa Inggris oleh penduduk New York misalnya, akan mudah didengar berbeda dengan dialek bahasa Inggris dari California. Sekarang kalau kita bicara belajar bahasa Inggris, bahasa Inggris mana yang paling utama kita pelajari?  Apakah American English? British English? atau Australian English? Karena belajar bahasa Inggris buat orang Indonesia bukan untuk tujuan membentuk Indonesian English karena kita sudah punya bahasa nasional “Bahasa Indonesia”, maka kita tidak perlu khawatir salah pilih.  Sekalipun mereka masing-masing mengklaim bahasa tertentu adalah bahasa mereka, yang jelas semua itu berakar  dari bahasa yang sama. Yang jelas, pemahaman kita akan jauh lebih baik apabila bahasa Inggris itu kita pelajari dalam konteks budaya kehidupan penggunanya. Artinya dalam proses belajar bahasa Inggris ini sebaiknya kita menerima saja bentuk apa adanya menurut mereka. Oleh karena itu kalimat atau tulisan-tulisan yang menjadi bahan pelajaran sebaiknya kita ambil dari tulisan mereka karena bagaimanpun tulisan mereka itu sudah terseleksi paling tidak dari segi budaya penulis bersangkutan.  Dengan kata lain, janganlah kita menterjemahkan kalimat bahasa Indonesia kedalam bahasa Inggris. Misalnya “Saya selalu mengirim surat kepada paman” kalau kita mencoba menerjemahkan kalimat ini,  kita cenderung akan mengatakan “I always send a letter to my uncle” Kalimat ini akan dapat dipahami oleh orang Inggris, Amerika, atau Australia, namun mereka akan mendengarkan kalimat itu janggal. Karena kalau mereka mau mengutarakan hal yang sama, mereka akan mengatakan “I always send my uncle a letter” Hal ini dipengaruhi oleh aspek budaya dimana kalau dalam satu kalimat ada dua objek dan salah satunya manusia sementara lainnya berupa sesuatu, mereka selalu mendahulukan “manusia”. Demikian juga misalnya “Saya dan Ibu pergi ke kota kemarin” kalau kalimat itu kita terjemahkan, kita akan mengatakan “I and my mother went to the city yesterday” Sama seperti diatas, orang pemakai bahasa Inggris akan paham artinya tetapi mereka akan mendengarnya janggal karena apabila dalam satu kalimat ada beberapa subyek atau obyek manusia dan kita sendiri sebagai pembicara adalah salah satunya, kita harus menyebut “saya” yang terakhir. Hal-hal seperti ini sangat kental sekali sampai-sampai dalam beberapa buku bahasa Inggris hal seperti ini dimasukkan sebagai salah satu aspek grammar. Pengaruh budaya juga membuat orang Barat lebih sering menggunakan active voice sedangkan dalam bahasa Indonesia penggunaan active voice dan passif voice  tidak terlalu diperhatikan. Contoh sederhana dapat kita  lihat pada kalimat sederhana berikut; “Buku ini punya saya” Kalau lalimat ini kita terjemahkan kedalam bahasa Inggris, akan kita katakan “This book is mine” atau “This is my book”  Memang tidak ada yang salah dalam kalimat tersebut. Namun karena kebiasaan pengguna bahasa Inggris memakai active voice, maka buat mereka akan dianggap lebih pas kalau disebut  “This book belongs to me” Hal ini bisa terjadi karena kebiasaan kita lebih menekankan bahwa seseoranglah yang memiliki atau punya ssu. Dari uraian tersebut. dapat disarankan agar dalam mempelajari bahasa Inggris, kita lebih baik menggunakan bahan bacaan yang ditulis oleh pemakai bahasa Inggris itu sendiri (English Native Speaker) lalu kita tafsirkan apa maksud setiap kalimat dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian kita terbiasa menggunakan struktur atau pola kalimat yang mereka gunakan. F.  Language is vocal Bahasa Berkaitan dengan suara Sudah jelas bahwa bahasa pada awalnya muncul dalam bentuk suara (ucapan), kemudian kata perkata diberi symbol-symbol yang selanjutnya berkembang menjadi huruf atau tulisan yang kita kenal sekarang ini. Karena itu sulit dibayangkan seseorang belajar bahasa hanya dalam bentuk tulisan apabila orang tersebut secara fisik normal. Karena itu latihan cara pengucapan (pronunciation) harus merupakan  kegiatan terprogram secara khusus dengan proporsi waktu memadai pada kursus-kursus dan sekolah-sekolah, dan kemampuan pronunciation itu harus menjadi salah satu unsur utama penilaian kemajuan belajar seorang siswa. Menurut pengamatan penulis, ketidak fasihan mengucapkan kata atau kalimat sering menimbulkan keragu-raguan karena takut salah. Padahal perbedaan pengucapan itu tidak begitu menentukan dalam arti pemahaman bahasa secara keseluruhan, karena cara pengucapan itu tidak punya standard yang harus dipenuhi, yang penting apa yang dimaksud seorang pembicara dapat dipahami pendengar. Itulah sebabnya cara pengucapan ini sering mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan dari satu wilayah ke wilayah lain. Sebagai contoh, dalam hal ucapan beberapa kata bahasa Inggris Australia, Amerika, dan Inggris,  sangat jauh berbeda, namun mereka masih tetap saling mengerti. Vocal ini membutuhkan ketrampilan menggunakan pita suara, gerakan lidah, dan bibir. Semakin sering kita gunakan organ tubuh tersebut untuk menyuarakan bunyi (vocal) tertentu, akan semakin lincah organ-organ tersebut menyuarakan corak suara lain yang mirip atau sejenis. Cara effektif melatih vocal ini antara lain;

  1. Mendengarkan dengan seksama ucapan-ucapan dalam bahasa Inggris misalnya dalam film, berita, narasi di TV, Radio, atau dari kaset lalu mengulangi mengucapkan apa yang kita dengar tersebut.
  2. Membaca tulisan bahasa Inggris dengan mengeluarkan suara, tidak hanya membaca dalam hati.
  3. Memberanikan diri mengucapkan kata-kata atau kalimat bahasa Inggris kepada pasangan bicara misalnya di kelas atau kursus-kursus tanpa rasa takut salah.

Langkah-langkah tersebut merupakan satu pelatihan effektif. Tanpa kegiatan itu sulit membayangkan seseorang bisa berbicara secara fasih dalam bahasa ini sebagai bahasa kedua. Karena, kegiatan pelatihan vocal ini merupakan satu kunci keberhasilan bisa bicara lancar, tidak obahnya seorang penyanyi yang harus secara intensif melatih vocal untuk mencapai prestasi tertentu. Banyaknya media dalam bentuk Audio/Visual saat ini, sudah cukup memadai buat sarana melatih vocal kita dalam bahasa Inggris. Tinggal kemauan untuk berlatih secara tekun mengikuti jadwal yang dapat kita rancang sendiri.

  1. How to introduce grammar Bagaimana memperkenalkan grammar

Pada satu kegiatan kursus, penulis pernah melakukan pretest kepada 8 orang peserta kursus intensif yang semua sudah berpendidikan SLTA. Diantara pertanyaan yang diajukan adalah; Tuliskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan verb dan noun dalam grammar bahasa Inggris dengan hasil jawaban sbb:

  • · Lima diantara peserta menjawab bahwa verb adalah “kata kerja”, tiga orang lainnya menjawab verba.
  • Semua peserta mejawab bahwa noun adalah “kata benda”

Setelah jawaban dikumpulkan kemudian mereka diberikan dua pertanyaan lain sbb: 1. Apakah ada verb dalam kalimat “I was a police at that time”. Kalau ada sebutkan mana kalau tidak ada sebutkan tidak ada.  2. Apakah ada noun dalam; “The beauty of Bali is very impressive” Kalau ada sebutkan yang mana, kalau tidak ada sebutkan tidak ada. Hasilnya.

  1. Hanya 3 orang menjawab pertanyaan pertama benar dengan menyebutkan “was”. Selebihnya mengatakan tidak ada.
  2. Hanya 2 orang menyebutkan “beauty” dan “Bali” selebihnya mengatakan hanya Bali.

Waktu jawaban dibahas bersama, ada argumentasi mengatakan bahwa pada kalimat pertama I (saya) dalam kalimat itu tidak melakukan apa-apa sehingga otomatis tidak ada kata kerja dalam kalimat tersebut. Memang benar, bahwa was itu bukan kata kerja. Tetapi was itu adalah verb. Oleh karena itu, jangan kita artikan bahwa verb itu kata kerja. Benar bahwa “kata kerja” itu adalah verb, namun hanyalah salah satu dari berbagai jenis kata yang tergolong verb.    Demikian juga pada kalimat ke dua, diantara mereka ragu apakah beauty itu kata benda atau tidak. Kekeliruan memahami bahwa verb itu kata kerja sangat mendasar terhadap pemahaman struktur dasar kalimat dalam bahasa Inggris. Memang kata kerja (action word) itu termasuk salah satu jenis verb. Namun masih ada kata lain yang bukan kata kerja tetapi tergolong verb. Kalau seorang siswa belum mengenal benar mana verb dalam satu kalimat, dia akan sulit memahami kalimat tersebut secara utuh dan akan sulit membentuk kalimat karena verb dalam satu kalimat bentuknya sering berubah sesuai tense (masa berlaku) dan sesuai bentuk subjek kalimat. Demikian juga halnya dengan pengenalan noun. Kalau seorang siswa memahami bahwa noun itu hanyalah kata benda, akan sulit bagi dia memahami struktur satu kalimat yang kompleks. Memang kata benda (substantial thing) adalah satu unsur noun. Oleh karena itu kita harus memahami noun itu dari fungsinya dalam satu kalimat. dimana noun itu adalah kata yang dipakai menjadi subjek atau objek kalimat, atau sesuatu yang dapat dimiliki. Karena banyak kata yang bukan kata benda dapat dipakai sebagai subjek maupun objek kalimat, atau objek yang dapat dimiliki, maka noun itu tidak identik dengan kata benda; Contoh: 1.  The poverty makes this society apathetic. Kemiskinan membuat masyarakat ini apatis. Dalam kalimat ini poverty adalah noun karena berfungsi sebagai subjek kalimat. Sesuai definisi kata benda pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “poverty” (kemiskinan) itu bukan benda karena tidak berjud secara fisik. 2.  Please tell the truth. Tolong katakan kebenarannya. Dalam kalimat ini truth (kebenarannya) adalah noun karena befungsi sebagai obyek tell. 3.  What is your opinion about the case?. Apa pendapatmu mengenai kasus itu? Dalam kalimat ini opinion (pendapat) adalah noun karena berfungsi sebagai obyek kata ganti kepemilikan your. Dengan arti lain ssu yang dapat dimiliki. Dari pembahasan diatas dapat kita bayangkan bagaimana kesulitan seorang siswa memahami struktur dan pengertian satu kalimat apabila dia melihat verb itu hanya sebagai kata kerja, dan noun itu hanya kata benda. Kekeliruan ini sangat krusial dalam hal memahami grammar bahasa Inggris. Oleh karena itu, seorang guru tidak boleh memberikan pengertian atau terjemahan istilah grammar secara sempit, apalagi saat-saat permulaan siswa belajar bahasa Inggris secara formil. Begitu juga tidak perlu kita memahami verb itu dari pengertian verba dan noun itu dari pengertian nomina dalam KBBI, karena  rumusannya sangat kompleks, lecuali tujuannya dalam konteks linguistik. Carilah pengertian verb, noun, dan kelas kata lain itu dalam kamus-kamus bahasa Inggris yang ditulis oleh pengguna bahasa itu sebagai bahasa ibu kalau diperlukan sebagai pembanding untuk pengetian yang ada dalam lampiran buku ini. Masalah pengertian yang perlu dipahami ini tidak hanya verb dan noun tetapi juga kelas kata (parts of speech) lainnya. Untuk menghindari kekeliruan-kekeliruan seperti diatas, disarankan agar memberi pengertian istilah ini secara lengkap dan benar, atau tidak perlu menterjemahkan, tetapi menunjuk contoh-contoh kata tertentu didalam kalimat. H. Active Participation Partisipasi Aktif Partisipasi aktif dalam proses belajar bahasa merupakan satu syarat mutlak. Seperti sudah diutarakan sebelumnya bahwa bahasa itu merupakan satu alat komunikasi. Dalam berkomunikasi dikenal pola komunikasi searah dan pola komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah dapat berlangsung secara efektif , apabila ada;

  1. Kesempatan dan kebebasan antar komunikan (orang yang saling berbicara/ berkomunikasi) mengutarakan pertanyaan, pendapat, perasaan. Kesempatan dan kebebasan ini bisa mendorong keberanian berbicara atau mengatakan sesuatu sekalipun masih ada keraguan apakah yang akan diutarakan itu benar atau tidak, dipahami mitra bicara atau tidak. Pernyataan ini kedengaran sederhana tetapi sangat penting karena keberanian mengungkap/ mengucapkan kata tanpa takut salah merupakan kunci terjadinya proses latihan pengucapan (speaking).
  2. Kesamaan persepsi terhadap pentingnya buat seseorang melatih dirinya berbicara dalam bahasa Inggris. Kesamaan persepsi ini akan menghilangkan ganjalan psikologis yang kerap terjadi dimana seseorang akan dikatakan sok-sok bahasa Inggris kalau seseorang mencoba mempraktekkan vocal kata tertentu yang pernah dia dengar.

Kedua factor tersebut dapat diciptakan dengan membuat satu kegiatan roll play sesama siswa sperti berikut;

  1. Siswa diminta membentuk formasi melingkar.
  2. Disiapkan bahan pembicaraan dengan satu pertanyaan dan kemungkinan jawaban berbeda karena merupakan kondisi sebenarnya dari yang menjawab. Misalanya: How old are you? atau  Where do you live? Jawaban nya tergantung dari orang yang menjawab.
  3. Pertanyaan mulai dari fasilitator/guru kepada siswa A. Setelah siswa A menjawab pertanyaan fasilitator/guru, siswa A tersebut menynyakan pertanyaan serupa kepada siswa B disampingnya. Setelah B menjawab A, si B bertanya lagi kepada C, demikian selanjutnya sampai giliran siswa deretan terakhir bertanya kepada guru/fasilitator.

Dengan cara demikian para siswa secara aktik terlibat dalam dialog sehingga merupakan pengalaman nyata. Pendekatan seperti ini jauh lebih effektif dibandingkan kalau dialog tersebut hanya dibaca dalam buku pelajaran.

  1. Don’t make it as it is difficult. Jangan membuat seolah-olah hal (bahasa Inggris) itu sulit

Memberi kesan seolah-olah bahasa Inggris itu sesuatu yang sulit dan rumit akan mengurangi minat pelajar untuk menekuninya. Dan kalau hal ini terjadi, sulit dan akan makan waktu lama mereka bisa berbahasa Inggris secara fasih. Karena itu harus dihindari dengan cara; a)      Jangan memberikan teori-teori grammar pada tahap-tahap awal. Grammar itu perlu diberikan setelah siswa sudah mengenal kalimat sehari-hari sesuai kebutuhan berkomunikasi. Karena begitu siswa mendengar istilah-istilah   grammar, yang pertama kali muncul dalam benak mereka adalah serangkaian teori yang rumit dan sulit. Apalagi kalau didalamnya terdapat istilah yang penterjemahannya tidak tepat atau terlalu sempit. b)      Membuat contoh kalimat mengenai sesuatu yang sudah dikenal dan dipahami oleh pelajar dari pengalaman sendiri. c)      Jangan menghiraukan kekeliruan pengucapan kata tertentu, yang penting dapat dimengerti oleh teman berkomunikasi. d)      Sebelum pelajar bisa menggunakan bahasa Inggris secara lancar dalam pembicaraan sehari-hari, jangan diekspose terhadap materi pelajaran yang sifatnya kompleks.

  1. Deductive Approach. Pendekatan deduktif

Maksud pendekatan deduktif  dalam proses belajar ini adalah cara memperkenalkan kata, khususnya kata berarti ganda, dalam kemasan berbentuk kalimat. Apabila kita ingin memperkenalkan kata walk sebagai contoh, kita gunakan kata tersebut dalam beberapa kalimat dimana pengertian walk tersebut dapat berbeda atau sedikit berbeda di setiap kalimat baru kemudian mencoba memahami perbedaannya satu persatu dalam konteks kalimat seperti; Kelompok I (pertama) dimana walk adalah verb intransitive.

  1. I walk to school everyday. Saya berjalan kaki kesekolah setiap hari.
  2. My mother always walks to work. Ibu saya selalu berjalan kaki ke tempat kerja
  3. Do you walk to work? Apa kamu berjalan kaki ke tempat kerja?
  4. We must have walked ten miles today. Kita sudah pasti berjalan 10 mil hari ini.

Kelompok II dimana walk adalah verb (transitive)

  1. Do you walk your dog by your self? Apa kamu sendiri yang menuntun anjing kamu berjalan-jalan?
  2. Let me walk him to school! Mari saya antar dia berjalan ke sekolah.
  3. He walked the court – the judge didn’t have enough evidence. Dia meningalkan sidang – hakim tidak punya cukup bukti.
  4. I walked the path up to the lake. Saya menelusuri jalan setapak itu sampai ke danau.

Kelompok III dimana walk adalah verb (phrasal, transitive).

  1. I walked in on her in bed. Saya masuk membangunkan dia di tempat tidur.
  2. Don’t walked straight into that case! Jangan campuri langsung kasus itu!
  3. If you get a cramp, just try to walk it off. Kalau kaki kamu pegal coba saja menggunakannya berjalan
  4. Someone walked off with my new jacket! Seseorang telah membawa kabur jaket saya.
  5. Rudy walked away with the prize. Rudy memenangkan hadiah itu dengan mudah.

Kelompok IV dimana walk adalah verb (phrasal, intransitive)

  1. You can’t just walk away from eight years of marriage! Kamu tidak boleh begitu saja mengabaikan perkawinan yang sudah berlangsung delapan tahun.
  2. Some parliament members at the preliminary session walked out.. Beberapa anggota parlemen pada sidang pleno meninggalkan sidang.
  3. The electricians at the factory have walked out. Para tukang listrik di pabrik mogok meninggalkan tempat kerja.
  4. 4. Mary just walked out on him one day. Pada satu hari Mariam meninggalkan dia begitu saja.

Kelompok V dimana walk adalah noun.

  1. Let’s take a walk before dinner. Mari kita lakukan jalan-jalan sebelum makan malam.
  2. Would you like to go for a walk? Apa kamu ingin pergi untuk jalan-jalan?
  3. It’s only a ten minutes/two miles walk from here. Itu hanya sepuluh menit/dua mil perjalanan dari sini.
  4. Monas is a popular walks on Sunday and on a holyday. Monas adalah tempat berjalan-jalan sangat terkenal pada hari Minggu dan pada hari libur.

Kalau kita amati setiap kelompok kalimat-kalimat diatas, akan kita temukan    bahwa terjemahan kata walk itu kedalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam. Karena itu apabila kita menggunakan pendekatan induktif, artinya kalau kita terlanjur tahu bahwa arti walk itu dalam bahasa Indonesia hanya “berjalan” maka kita akan menghadapi kesulitan memahami satu kalimat dimana terdapat kata walk yang artinya  bukan berjalan. Untuk menghindari kesulitan seperti inilah sebaiknya kita menelaah atau menafsirkan arti satu kalimat bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia, barulah kita melihat peran setiap kata dan selanjutnya arti setiap kata atau rangkaian kata (phrase) yang terdapat dalam kalimat tersebut. Artinya kita lebih baik menggunakan pendekatan deduktif dari pada pendekatan induktif dimana kita memperkenalkan satu kata lalu meminta mereka menggunakan kata tersebut dalam kalimat. K.  Breaking the ice Memecah es (Mencairkan suasana kaku) Memecahkan atau melelehkan kekakuan berkomunikasi dengan bahasa Ingris akibat hambatan psikologis adalah satu langkah mutlak. Banyak metode atau teknik meluberkan  kekakuan ini. Salah satu cara efektif dan sederhana adalah memancing spontanitas mengucapkan ssu yang sudah ada dibenaknya dengan cara berikut; I  Untuk Tingkat Pemula. Persiapkan peragaan untuk pengucapan angka, huruf,  waktu antara lain.

  • Persiapkan alat peraga antara lain; a. satu kalender dimana terdapat tulisan hari, bulan, tanggal, dan tahun. b. satu jam dinding yang posisi jarumnya bisa dirobah-robah c. dan satu lembar  kertas lebar berisi sederetan angka yang disusun secara acak.
  • Tunjuk pelajar secara bergantian untuk merespon anda, lalu tunjuk angka-angka atau kata-kata yang harus direspon secara spontan, misalnya anda menunjuk pada jam posisi pukul: 8:45. Yang ditunjuk harus langsung mengucapkan : “Eight forty five”, atau “Eight past forty five”, atau “Fifteen to nine”  Begitu juga kalau anda menunjuk tulisan Rabu harus secara spontan dijawab Wednesday, dsb  Demikian seterusnya, sampai semua pelajar sudah tidak perlu lagi berpikir bagaimana mengucapkan waktu tertentu pada jam, hari, bulan, tanggal, dsb. Proses ini sangat perlu, karena menurut pengamatan penulis, banyak anak-anak SMP kelas 1 sudah bisa menghitung dari satu sampai seratus dengan ucapan fasih, namun begitu pnulis menunjuk angka tertentu mereka tidak bisa secara spontan menjawabnya. Begitu juga anak SMA yang pernah penulis amati, masih banyak yang belum bisa secara spontan menerjemahkan angka pada jam tangan secara spontan dengan lisan.

II.  Untuk tingkat menengah. Siapkan serangkaian dialog antara dua orang. Peserta latihan kemudian di atur secara berganti-ganti bertanya dan menjawab seperti contoh berikut;

  • Peserta A:  Mengajukan pertanyaan kepada peserta disampingnya (peserta B “How many sister and brother do you have?
  • Peserta B:  Menjawab “I have two brothers and one sister”  dan selanjutnya peserta B bertanya pertanyaan yang sama kepada peserta disampingnya (peserta C) “How many sister and brother do you have”
  • Peserta C: Menjawab “I have two brothers and no sister” dan selanjutnya bertanya kepada peserta disampingnya (peserta D)

Demikian seterusya sampai pada peserta terakhir yang mengajukan pertanyaan kepada peserta A. Disini setiap siswa diminta menjawab sesuai dengan sebenarnya berapa saudara laki-laki dan berapa saudara perempuan yang mereka miliki  sehingga jawaban peserta B bisa saja berbeda dengan jawaban C demikian seterusnya. Demikian juga kalau yang ditanya adalah alamat atau pekerjaan orang tua agar dijawab dengan apa adanya. Ini merupakan satu proses memecahkan hambatan psikologis dan merupakan langkah awal membuat pelajar langsung aktif bisa berkomunikasi tentang sebenarnya (actual conditian) yang selanjutnya akan menjadi stimulus memperkaya perbendaharaan kata dan kalimat di dalam benak pelajar. Selanjutnya fasilitator atau guru membuat kalimat kalimat tanya sederhana lainnya yang sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari yag selanjutnya akan dibahas pada Bab IV (Pengembangan bahan pembelajaran)   Catatan: Kalimat tanya diatas bisa tanpa “do” menjadi “How many brother and sister you have?”  Keduanya bisa dipakai, ini hanya masalah gaya bahasa. Orang Amerika cenderung lebih senang pakai do dibandingkan dengan orang Inggris dalam kalimat seperti ini. III  Tingkatan lanjut. Pada tingkatan ini pelajar sudah harus dapat menyusun sekaligus mengekpresikan satu konsep pemikiran secara sistematis.  Langkah yang perlu dilakukan dalam rangka latihan adalah; a)      Peserta latihan atau pelajar  diminta membuat satu tulisan singkat berupa rencana, laporan, atau apa saja yang bisa sesuai kreativitas masing-masing. b)      Kemudian setiap peserta atau pelajar menguraikan/menjelaskan apa yang mereka tulis secara lisan di depan kelas. (one way communication) c)      Pada langkah berikutnya para peserta lain diberikan kesempatan memberikan komentar atau menanggapi setiap pemaparan (two ways communication). Uraian-uraian diatas sangat perlu diperhatiakan agar satu proses belajar dan belajar bahasa Inggris dapat berlangsung secara efetif. [1] Marden J.Clark, Soren F. Cox, Marshall R. Craig dalam bukunya About Langguage, Contexts for College Writing, Edisi ke-2  Library of Congress United States of America 1975 [2] W.F. Leopold,s Careful Study, North Western University Press, 4 vol., 1939 – 1949 [3] Marden J.Clark, Soren F. Cox, Marshall R. Craig dalam bukunya About Langguage, Contexts for College Writing, Edisi ke-2  Library of Congress United States of America 1975

About binhom

English book writer
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

1 Response to Prinsip-prinsip dasar

  1. Supriyadi says:

    wah artikel yang bagus banget pak, makasih

Leave a comment